Rabu, 26 April 2017

SAY NO TO GHOSOB


mengapa perilaku ghosob dapat tumbuh dan berkembang  di sekitar kita. Perilaku menyimpang itu tak ayal juga merasuki nadi kehidupan di pesantren-pesantren bukan persoalan tempat di mana perilaku ghosob menjelma. Namun sungguh ironis, bagaimana bisa perilaku menyimpang dapat subur di lingkungan yang justru melarangnya? Marilah bersama kita tengok apa yang menyebabkannya.
Alasan yang paling logis adalah santri kurang mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Tetapi ini bukan persoalan human error dan relativitas individu belaka. Ada konstruksi sosial yang tanpa disadari terbentuk dari proses sosial santri. Salah satu yang turut membentuknya adalah nilai khas yang berkembang di pesantren, yakni nilai kekeluargaan.Nilai kekeluargaan santri dilatari oleh interaksi intensif antar santri yang kemudian melahirkan pola hubungan yang guyub Rasa guyub tersebut terbentuk atas dasar ikatan darah, tempat tinggal dan jiwa pikiran. Proses sosial santri di pesantren diwarnai kebersamaan bukan hanya karena satu naungan atap, melainkan ikatan jiwa-pikiran santri turut mempererat jalinan paguyuban tersebut. Setiap hari santri beraktivitas, bercengkerama dan melewati waktu dalam kebersamaan. Interaksi di antara santri mengalir mesra, merajut jalinan emosi, empati, rasa saling memiliki dan sepenanggungan. Apapun dilalui bersama dalam satu naungan pondok pesantren.
Ketika sebuah interaksi mencapai klimaks intensif, timbul rasa saling memiliki bahkan altruistik, yakni mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan sendiri. Kita lihat, kebersamaan santri dalam mengakses suatu tempat atau barang, hal itu didasari oleh impuls social-genetics yang mengakar dalam keintiman hubungan. Sehingga timbul nilai yang lebih intim, yaitu punyaku juga punyamu, punyamu ya punyaku. Apapun yang dimiliki santri, santri lainnya dapat menggunakan asalkan tidak dimiliki secara mutlak. Kebersamaan dalam kepemilikan bukan “kesalahan” dari yang ikut merasa memiliki. Rasa permisif yang ditonjolkan pemilik barang meyakinkan santri lainnya bahwa memang diperbolehkan untuk menggunakannya. Ketika hal itu terbiasa, maka izin memakai barang tak lagi diperhitungkan karena pemakluman dan pembolehan pribadi yang apriori.
            Istilah Ghosob berasal dari fiil madly yaitu kata ghoshoba, yaghshibu, ghoshbun yang artinya merampas, mengambil dengan paksa/kekerasan (Kamus At-Taufiq, 2004, 455). Sedangkan secara terminologi berarti “menguasai barang milik orang lain secara dengan cara paksa tanpa izinnya serta bukan dalam konteks peperangan (jika dalam peperangan bukan dinamakan ghasab tapi rampasan perang / ghanimah)”. Sedang pendapat lain menyebutkan bahwa ghasab adalah mengambil harta benda yang terlarang secara tanpa izin dari pemiliknya dengan konsekuensi ketika barang tersebut berada di tangannya maka kepemilikan pemiliknya akan hilang.
            Ghosob merupakan suatu tindakan di mana seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk diambil ataupun dimiliki. Sehingga ghosob merupakan tindakan yang hampir sama dengan mencuri. Namun kalau mengghosob barang, barang tersebut akan dikembalikan. Sedangkan hampir sama karena ghosob dan mencuri sama-sama mengambil barang orang tanpa seizin dari yang punya.
Para ‘Ulama’ sepakat bahwa aslul hukmi dari ghasab adalah haram hukumnya jika memang prakteknya mengambil barang milik orang lain dengan bathil, tanpa izinnya. Di samping itu pula ada kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut jika memang barang yang dighasab masih ada dan berubah sedikitpun di dalam tanggungan ghasib. Ketika barang tersebut sudah tidak berwujud karena rusak atau lainnya, maka ghasib harus mengganti barang tersebut jika memang bisa dicarikan gantinya. Dan jika tidak, maka ghasib harus mengganti dzat barang tersebut dengan harga yang senilai.
Uniknya, menggosob ini merupakan suatu kebiasaan yang dianggap wajar. karena wajarnya mengghosob ini menjadi suatu tradisi oleh santri . Di mana  tradisi ini merupakan suatu kebiasaan yang turun menurun dan sangat sulit untuk dihilangkan. Kalaupun ada kebijakan baru tentang ghosob, kebijakan itu pasti tidak akan berjalan lama. Misalnya kalau ada kebijakan seperti ini “kalau yang ghosob akan diinjak kakinya.” Itu mungkin hanya akan berlaku untuk 2-3 hari saja, atau paling lama sampai satu minggu saja.
Dalam pembahasan ini akan dibahas secara langsung hadis yang berkaitan dengan larangan ghasab di antaranya adalah sebagai berikut :
Telah menceritakan kepada kami Abd al-Razaq, telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar dari Ibn Abi Dzi’b dari Abdillah ibn al-Saib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa beliau telah mendengar Nabi S.A.W berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda : Janganlah sekali-sekali salah satu di antara kamu semua mengambil kesenangan temannya secara sungguh-sungguh dan tidak juga secara senda gurau. Dan jika salah satu di antara mereka menemukan tongkat temannya maka hendaklah ia mengembalikan kepadanya” (Musnad Ahmad no. 17261).
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ghasab adalah perbuatan yang dilarang dalam agama. Ghasab merupakan suatu tindakan di mana seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk diambil ataupun dimiliki. Sehingga ghasab merupakan tindakan yang hampir sama dengan mencuri. Namun kalau mengghasab barang, barang tersebut akan dikembalikan. Sedangkan hampir sama karena ghasab dan mencuri sama-sama mengambil barang orang tanpa seizin dari yang punya.
Memang terdapat perbedaan pendapat di antara beberapa mazhab dalam memandang seberapa jauh sebuah prilaku dimasukkan dalam katagori ghasab berdasar pada batasan-batasan yang telah dibuat. Sehinnga ikhtilaf tersebut akan menjadi rahmat bagi umat dalam mengambil hukum sesuai dengan konteks situasi serta keadaan dan kesimpulan akhirnya bahwa Islam adalah agama yang mudah. Wallahu A’lam