mengapa perilaku ghosob dapat tumbuh dan berkembang di sekitar kita. Perilaku menyimpang itu tak ayal juga merasuki nadi kehidupan di pesantren-pesantren bukan persoalan tempat di mana perilaku ghosob menjelma. Namun sungguh ironis, bagaimana bisa perilaku menyimpang dapat subur di lingkungan yang justru melarangnya? Marilah bersama kita tengok apa yang menyebabkannya.
Alasan yang paling logis adalah
santri kurang mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Tetapi ini bukan persoalan human
error dan relativitas individu belaka. Ada konstruksi sosial yang
tanpa disadari terbentuk dari proses sosial santri. Salah satu yang turut
membentuknya adalah nilai khas yang berkembang di pesantren, yakni nilai
kekeluargaan.Nilai kekeluargaan santri dilatari oleh interaksi intensif antar
santri yang kemudian melahirkan pola hubungan yang guyub Rasa guyub tersebut
terbentuk atas dasar ikatan darah, tempat tinggal dan jiwa pikiran. Proses
sosial santri di pesantren diwarnai kebersamaan bukan hanya karena satu naungan
atap, melainkan ikatan jiwa-pikiran santri turut mempererat jalinan paguyuban
tersebut. Setiap hari santri beraktivitas, bercengkerama dan melewati waktu
dalam kebersamaan. Interaksi di antara santri mengalir mesra, merajut jalinan
emosi, empati, rasa saling memiliki dan sepenanggungan. Apapun dilalui bersama
dalam satu naungan pondok pesantren.
Ketika sebuah interaksi
mencapai klimaks intensif, timbul rasa saling memiliki bahkan altruistik, yakni
mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan sendiri. Kita lihat,
kebersamaan santri dalam mengakses suatu tempat atau barang, hal itu didasari
oleh impuls social-genetics yang mengakar dalam keintiman
hubungan. Sehingga timbul nilai yang lebih intim, yaitu punyaku juga punyamu,
punyamu ya punyaku. Apapun yang dimiliki santri, santri lainnya dapat
menggunakan asalkan tidak dimiliki secara mutlak. Kebersamaan dalam kepemilikan
bukan “kesalahan” dari yang ikut merasa memiliki. Rasa permisif yang
ditonjolkan pemilik barang meyakinkan santri lainnya bahwa memang diperbolehkan
untuk menggunakannya. Ketika hal itu terbiasa, maka izin memakai barang tak
lagi diperhitungkan karena pemakluman dan pembolehan pribadi yang apriori.
Istilah Ghosob berasal dari fiil
madly yaitu kata ghoshoba, yaghshibu, ghoshbun yang
artinya merampas, mengambil dengan paksa/kekerasan (Kamus At-Taufiq, 2004, 455).
Sedangkan secara terminologi berarti “menguasai barang milik orang lain secara
dengan cara paksa tanpa izinnya serta bukan dalam konteks peperangan (jika dalam
peperangan bukan dinamakan ghasab tapi rampasan perang / ghanimah)”. Sedang
pendapat lain menyebutkan bahwa ghasab adalah mengambil harta benda yang
terlarang secara tanpa izin dari pemiliknya dengan konsekuensi ketika barang
tersebut berada di tangannya maka kepemilikan pemiliknya akan hilang.
Ghosob merupakan suatu tindakan
di mana seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk
diambil ataupun dimiliki. Sehingga ghosob merupakan tindakan yang hampir sama
dengan mencuri. Namun kalau mengghosob barang, barang tersebut akan
dikembalikan. Sedangkan hampir sama karena ghosob dan mencuri sama-sama
mengambil barang orang tanpa seizin dari yang punya.
Para ‘Ulama’ sepakat bahwa
aslul hukmi dari ghasab adalah haram hukumnya jika memang prakteknya mengambil
barang milik orang lain dengan bathil, tanpa izinnya. Di samping itu pula ada
kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut jika memang barang yang dighasab
masih ada dan berubah sedikitpun di dalam tanggungan ghasib. Ketika barang
tersebut sudah tidak berwujud karena rusak atau lainnya, maka ghasib harus
mengganti barang tersebut jika memang bisa dicarikan gantinya. Dan jika tidak,
maka ghasib harus mengganti dzat barang tersebut dengan harga yang senilai.
Uniknya,
menggosob ini merupakan suatu kebiasaan yang dianggap wajar. karena wajarnya
mengghosob ini menjadi suatu tradisi oleh santri . Di mana tradisi ini merupakan
suatu kebiasaan yang turun menurun dan sangat sulit untuk dihilangkan. Kalaupun
ada kebijakan baru tentang ghosob, kebijakan itu pasti tidak akan berjalan
lama. Misalnya kalau ada kebijakan seperti ini “kalau yang ghosob akan
diinjak kakinya.” Itu mungkin hanya akan berlaku untuk 2-3 hari saja, atau
paling lama sampai satu minggu saja.
Dalam pembahasan ini akan dibahas secara langsung hadis yang berkaitan
dengan larangan ghasab di antaranya adalah sebagai berikut :
“Telah menceritakan kepada kami Abd al-Razaq, telah mengkhabarkan kepada
kami Ma’mar dari Ibn Abi Dzi’b dari Abdillah ibn al-Saib dari ayahnya dari
kakeknya, bahwa beliau telah mendengar Nabi S.A.W berkata, bahwa Rasulullah saw
bersabda : Janganlah sekali-sekali salah satu di antara kamu semua mengambil
kesenangan temannya secara sungguh-sungguh dan tidak juga secara senda gurau.
Dan jika salah satu di antara mereka menemukan tongkat temannya maka hendaklah
ia mengembalikan kepadanya” (Musnad Ahmad no. 17261).
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ghasab adalah
perbuatan yang dilarang dalam agama. Ghasab merupakan suatu tindakan di mana
seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk diambil
ataupun dimiliki. Sehingga ghasab merupakan tindakan yang hampir sama dengan
mencuri. Namun kalau mengghasab barang, barang tersebut akan dikembalikan.
Sedangkan hampir sama karena ghasab dan mencuri sama-sama mengambil barang
orang tanpa seizin dari yang punya.
Memang terdapat perbedaan pendapat di antara beberapa mazhab dalam
memandang seberapa jauh sebuah prilaku dimasukkan dalam katagori ghasab
berdasar pada batasan-batasan yang telah dibuat. Sehinnga ikhtilaf tersebut
akan menjadi rahmat bagi umat dalam mengambil hukum sesuai dengan konteks
situasi serta keadaan dan kesimpulan akhirnya bahwa Islam adalah agama yang
mudah. Wallahu A’lam